|
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar
yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta
hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM)
mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan
dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia
sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap
manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan
pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk
didalamnya kekerasan seksual.
Kekerasan seksual didefinisikan oleh Badan Kesehatan Dunia World
Health Organization (WHO), sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan
menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan
persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman, dari definisi ini kita
dapat menilai bahwa pelaku ataupun korban dari kekerasan seksual itu bisa
siapa saja, baik itu laki-laki maupun perempuan, namun sangat mungkin
korban kekerasan seksual itu terjadi pada perempuan.
Menurut data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan di tahun 2020 yang rilis pada 2021, pada Ranah Publik atau
Komunitas sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah
kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari kekerasan
seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti
oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181
kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan
perkosaan 10 kasus. Istilah pencabulan dan persetubuhan masih digunakan
oleh Kepolisian dan Pengadilan karena merupakan dasar hukum pasal-pasal
dalam KUHP untuk menjerat pelaku (catahu). Pada Ranah Personal KDRT/RP
(Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus).
Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkatpertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus
(20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap
anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh
mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah
tangga.
Data diatas dalam hal kekerasan seksual dalam lingkup Rumah
Tangga, sudah diatur payung hukumnya dengan UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang didalamnya juga
terdapat larangan terhadap kekerasan seksual. UU Nomor 23 Tahun 2004
tersebut sudah diatur cukup jelas pencegahan, perlindungan, pemulihan, dan
lain-lain terhadap korban. Korban yang dimaksud dalam UU Nomor 23 2004
tersebut bisa laki-laki, maupun perempuan atau orang lain yang tinggal di
rumah. Namun dalam ranah publik, belum ada UU yang didalamnya
mengatur khusus korban kekerasan seksual dengan berbagai macam
perlindungan maupun pemulihan kepada korban, keluarga korban, saksi, dan
lain-lain.
Kini atas inisiatif DPR RI telah memasukan kembali Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS red) dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022 yang sebelumnya sudah
dimasukan juga dalam Prolegnas 2021. Tentu dengan hadirnya RUU PKS ini
melahirkan pro dan kontra, namun menurut hemat Penulis, RUU PKS ini
merupakan kebutuhan bagi masyarakat wabilkhusus perempuan dan anak-
anak.
Sepanjang 2021 pihak-pihak tertentu menolak keras atas RUU PKS ini
dengan argumentasi yang menurut Penulis tidak pada tempatnya. Menurut
pihak yang menolak, RUU PKS ini melegalisasi zina dan Aborsi. Penulis
mengamati RUU PKS tidak ada satu pasal pun yang mengatakan mengizinkan atau memperbolehkan perbuatan Zina dan Aborsi, karena dalam RUU ini memang berfokus pada Kekerasan Seksual.
Pihak yang menolak RUU PKS ini karena dengan alasan melegalisasi
zina karena didalamnya tidak ada tindak pidana apabila seseorang melakukan
perbuatan zina tanpa kekerasan dan paksaan. Argumentasi ini sangat bias
dan membalikan pemikiran dalam konteks yang berbeda, Penulismenyebutnya argumentasi tersebut bagaikan meletakan sesuatu yang bukan
pada tempatnya. RUU PKS ini merupakan khusus untuk kekerasan seksual,
bukan tentang seksual secara umum, didalamnya diatur bagaimana
pencegahan, perlindungan, dan pemulihan kepada korban, saksi, dan
keluarga korban serta pemberatan terhadap para pelaku Kekerasan Seksual,
sehingga tidak tepat apabila meletakan zina pada konteks kekerasan seksual.
Saran Penulis kalau ingin mempidanakan zina, silahkan saja mengusulkan
RUU yang baru atau memasukan dalam RUU KUHP, sehingga keinginan
pihak yang menolak RUU PKS dan yang setuju RUU PKS akan terakomodir.
Bukan hanya itu saja, ada juga pihak yang mengatakan RUU PKS ini
melegalisasi Aborsi dengan dicantumkannya rumusan Pasal 15 Pemaksaan
aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk
melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan
kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan. Maka apabila
tindakan Aborsi tanpa adanya kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan
kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan maka akan
diperbolehkan. Pendapat semacam ini lagi-lagi diluar konteks bahkan
pengaturan tindak Pidana Aborsi sendiri sudah diatur dalam KUHP dan UU
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi sudah cukup lengkap pengturan
tindakan Aborsi dalam sistem hukum kita, sehingga perlu menambahkan saja
apabila aborsi dilakukan atas rumusan Pasal 15 RUU PKS yaitu dengan
paksaan maka akan dipidana serta penanganan, pemulihan, dan
perlindungan Korban akan terjamin oleh RUU PKS.
Argumentasi penolakan terhadap RUU ini jelas menyalahi dari Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu “Kejelasan Tujuan”,
tujuan dari RUU PKS ini adalah fokus pada Kekerasan seksual mulai dari
Judul, konsideran, sampai dengan batang tubuh. Bahkan, tujuan RUU PKS
ini dinormakan dalam RUU PKS sendiri pada rumusan Pasal 3, mencegah
segala bentuk Kekerasan Seksual, menangani, melindungi dan memulihkan
Korban, menindak pelaku, dan mewujudkan lingkungan bebas Kekerasan
Seksual. Dari tujuan ini telah jelas tidak ada bertujuan untuk mempidanakan
zina maupun Aborsi tanpa paksaan dan kekerasan, sehingga kalaupunmempidanakan zina maupun Aborsi tanpa paksaan ini dimuat maka akan melahirkan UU yang berpotensi cacat Formil, karena mengatur hal-hal lain yang tidak sesuai dengan tujuan dari RUU PKS ini.
Berdasarkan argumentasi Penulis, maka penolakan atas RUU PKS ini cenderung memperlambat proses pengesahan menjadi Undang-undang, disamping adanya penolakan saat ini ada banyak kasus kekerasan seksual yang justru masih terjadi tanpa adanya penanganan, perlindungan, pemulihan yang sesui dikehendaki oleh RUU PKS. Baik kiranya agar DPR RI bersama Pemerintah agar sesegeranya menindaklanjuti RUU PKS ini agar segera disahkan.
foto diambil dari merdeka.com
Penulis : Frimaputra Sandi, S.H.